Senin, 20 Februari 2012

Kasih Putih


Disebuah Panti Asuhan Kasih Ibu tinggal anak-anak yang kurang beruntung nasibnya, entah ditelantarkan orang tuanya di tong sampah, dijual, dititipkan tapi tak juga diambil, dan banyak lagi cerita miris dari mereka.
Bunga namanya, anak perempuan manis ini berumur 14 tahun, ia ditemukan di depan panti ketika itu ia berumur 2 tahun. Ia cantik, cerdas, dan bertingkah laku lembut bak perempuan di Kraton Jogjakarta.
Kemudian Bintang, ia juga penghuni panti seperti Bunga. Saat ini ia berumur 15 tahun dan bintang sudah berada di panti sejak 12 tahun silam. Ya, bisa dibilang dua anak ini adalah bibit unggul, mereka cerdas dan menarik dan keduanya sangat akrab serta memiliki kedekatan batin yang sangat erat.

oooOooo

Pada suatu ketika ada dua orang asing asal Belanda, pasangan tersebut sudah menikah 10 tahun lamanya tapi Tuhan belum mengizinkan mereka memiliki momongan, kemudian mereka putuskan untuk mengadopsi anak dan Panti Asuhan Kasih Ibulah yang mereka pilih.
Setelah melihat seluruh anak yang ada di panti, pasangan itu memutuskan akan mengadopsi Bunga dan berencana membawanya tinggal di Belanda. Mendengar hal tersebut Bintang merasa sedih dan bertanya kepada pengurus panti.
Bu, apa benar Bunga akan diadopsi orang asing itu?”. Tanya Bintang
“Iya Bintang, mereka memilih Bunga untuk diadopsi”. Jawab pengusrus panti dengan lembut
Kapan Bunga akan pergi, Bu?”. Bintang setengah menangis
Beberapa hari lagi, berkas sedang diurus”. Kata pengurus panti dan langsung meninggalkan Bintang dalam ketidakpercayaan
oooOooo
Hari itupun tiba, hari di mana Bunga akan meninggalkan tempat yang sejak kecil ia tinggali, kenangan-kenangan manis, tawa dan canda teman-temannya, juaga Bintang yang sudah menjadi belahan jiwanya.
Baik, terima kasih Bu, karena sudah membantu saya untuk mengadopsi Bunga”. Kata pasangan itu kepada pengurus panti dengan logat Indonesia yang tersendat-sendat
Sama-sama Tuan”. Jawab pengurus panti dengan sedikit merunduk
Mereka bertiga berjalan menuju mobil yang terparkir di luar panti. Hanya beberapa langkah sebelum sampai di mobil, bintang muncul dari dalam panti dan berteriak.
Buungaaaaaa”. Sambil berlari menghampiri
Bintang!”. Jawab Bunga
Jaga diri kamu baik-baik ya!”. Kata Bintang
Aku enggak mau pergi Bintang”. Bunga hampir menangis
Kamu jangan bicara seperti itu, bukankah penghuni panti berharap seperti kamu? Merasakan kasih sayang orang tua walau bukan orang tua kandung, tapi setidaknya itu akan membuat statusmu jelas, dirawat, merasakan pelajaran di sekolah, dan banyak hal menyenagkan yang akan kamu rasakan”. Jelas Bintang
Iya Bintang, kamu benar! Aku akan kembali suatu saat nanti untuk menemui teman-teman di sini, khususnya kamu.” Kata Bunga sambil membasuh air matanya
Ya, berangkatlah! Aku akan menunggumu di sini, di tempat ini, walau kelak rambutku mulai memutih karena termakan usia”. Kemudian sambil memegang pundak Bunga, Bintang berkata “Meskipun aku tak bersamamu saat kau mekar, tapi aku akan bersamamu saat kau layu!”
Terlihat air mata membanjiri wajah cantik Bunga dan tanpa bekata Bunga berjalan ke mobil Jaguar berwarna merah bernomor polisi AD 1 T dan mobil itupun berjalan kemudian terbias hilang di tikungan.


- Aditya Sasori -

MERDEKA


Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.

“Selamat datang ke atas dunia. Selamat datang di Indonesia, Anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku, dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa. Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”

Merdeka kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik.

“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakan, Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”

Dua puluh tahun kemudian, Merdeka tumbuh dan dewasa. Ia menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakep. Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia sangat energetik dan suka membantah.

Teman-teman merdeka semua suka dan segan pada Merdeka. Tetapi, guru-gurunya sebaliknya. Merdeka kesal.

“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia genius. Dia bisa menjadi pimpinan di masa depan untuk negeri ini. jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman milenium ini. Tapi, sayang, dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.

“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, dia tak ayal lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya. Tetapi, sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap, sebagaimana yang dilakukan oleh Merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa maju. Lihat saja, di dalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah, nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi, tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi, Merdeka sudah salah kaprah!”

Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalau ia tak setuju, tanpa pertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.

Sebagai akibatnya, Merdeka dikenal sebagai anak yang berani. Ia ditakuti, tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, Merdeka dipecat dari sekolah.

Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran dan pada mengantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi, ia tidak kecil hati. Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah, katanya. Dengan bekal kepintaran itu, ia terjun ke masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.

Di masyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada praktiknya, yang menentukan orang dapat bekerja adalah ijazah. Kemana pun Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tahu Merdeka tak punya ijazah, pintu langsung ditutup.

“Boleh ngomong besar, tapi mana bukti? Mana dokumen rekomendasi?”

Teman-teman merdeka yang goblok, semuanya mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes. Tetapi, kepada siapa? Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan, surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika ia menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnya dengan duit.

“Kalian semua hanya ngomong-ngomong melulu, praktiknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanya kalian kaji sendiri!” teriak Merdeka.

Merdeka mulai marah dan benci pada kehidupan karena hidup berpihak pada ketidakadilan. Ia menjadi sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkan sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua kentut.

Tetapi, untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, Merdeka bertemu dengan seseorang yang berpihak pada kebenaran.

“Memang, ijazah itu perlu, karena itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi, diploma sekarang gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan di sekolah, sedangkan kita menggarap hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan di sekolah mana pun. Jadi, Saudara Merdeka jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, melaikan SDM hebat seperti kamu!”

Merdeka lantas dirangkulnya. Diberikan tanggung jawab untuk memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan, dan harapan. Merdeka kontan sembuh. Ia terima jabat tangan itu dan siap hendak berpacu.

Tetapi, apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.

“Merdeka,” katanya dengan suara yang bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan untuk medapatkan uang. Betul, tidak?”

Merdeka mengangguk. Betul.

“Nah, berarti kamu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Ya, kan? Jadi, lihat, aku bawakan kamu uang banyak sekali. Terimalah uang ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit. Banyak sekali. Tetapi, ia tidak punya kehormatan kerana tidak ada jabatan. Ia membeli jabatan kamu. Jadi, terimalah! Kamu untung dan aku juga untung!”

Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum Merdeka bisa mencegah, ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu dicampakkannya sambil mengumpat.

“Sialan! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang. Tapi, aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan pada negeri dan rakyatku!”

Suara Merdeka lantang dan jelas. Tapi, orang idealis itu sudah ngibrit entah kemana. Tinggal Merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena tak mampu lagi menahan dirinya. Orang-orang bilang bahwa anak muda itu sudah mulai terganggu.

“Kamu kelihatannya frustasi, Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edan ini, siapa yang tidak frustasi? Kalau kamu ikutkan perasaanmu, kamu akan gila. Tetapi, semua orang memang sudah gila. Kamu tidak akan menjadi istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu lawan semua itu!”

“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada, aku hajar sekarang juga!”

“Lawan dengan cara menerimanya! Pasrah!”

“Tidak! Aku tidak mau jadi orang Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”

“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi, pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang, jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Walhasil, Merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah kawin. Kawinlah, Merdeka, sebelum terlambat!”

Merdeka terkejut.

“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. setiap manusia wajib punya teman hidup, baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jati dirimu akan keropos. Dan kamu akan game over. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak, kamu akan terlambat. Coba, umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kadaluwarsa?”

Merdeka terkejut. Buru-buru ia berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di kepalanya. Garis-garis tua mulai turun di wajahnya. Ia tidak semuda yang ia kira lagi. Merdeka terpaksa menerima, apa yang dikatakan oleh sahabat itu.

Lalu, tanpa berpikir panjang lagi, Merdeka melamar pacarnya untuk menikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu dengan senang. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan kebebasannya, untuk memasuki status suami-istri.

Tetapi, celaka tiga belas. Meskipun dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali tak masuk akal.

“Kamu mau menikah dengan putri tunggalku, Merdeka?” tanyanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai? Apa kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Dalam waktu tiga bulan kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan menghisap kamu. Kamu memerlukan duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak. Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji yang baik. Hendak kamu bawa kemana putri tunggalku ini? Buktikan dulu bahwa aku pantas menyerahkan anakku kepadamu. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu. Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau, jangan-jangan kamu tertarik bukan kepada putriku, melainkan pada warisannya? Pada kekayaan dan jabatanku? Kalau begitu, maaf, Anak Muda, sekarang juga minggat, tinggalkan rumah ini dan jangan berani kembali karena aku akan tembak kepalamu!”

Merdeka pingsan. Belum pernah ia menerima kenyataan yang begitu parah.

“Aku manusia sial. Aku ditakdirkan menjadi orang gagal!” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan.

Akhirnya dalam keadaan panik dan terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya, dukun. Kenapa tidak? Meskipun ini zaman milenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada yang punya dukun. Bahkan, seniman juga ada yang malahan jadi dukun itu sendiri.

Dukun memegang tangan Merdeka dan membaca nasibnya.

Sebenarnya, menurut skenario, kamu ini orang genius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan. Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih. Tetapi, sayang, pada praktiknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”

“Sajen? Sajen apa?”

 “Kamu tahu? Segala sesuatu itu memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang diperlukan. Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka!”

Merdeka terkejut.

“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa revolusi seperti bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam-macam, Duk!”

“Tenang, Merdeka, pengorbanan ini bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban, tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu. Jangan lagi Merdeka. Itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian. Tidak mungkin. Kalau kamu memikulnya kamu akan terlalu sibuk memikul dan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi, lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apalah artinya nama, Ya, tidak?”

 Merdeka tidak setuju.

“Mengganti nama? Tidak. Tidak mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat. Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. aku tidak bisa mengganti apa yang diwariskan oleh orangtuaku begitu saja. Karena itu adalah amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”

Dukun menggeleng.

“Memang susah bicara dengan orang pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.

Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan. Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh, ia kalah. Lalu, sambil mengenakan baju batik, ia berangkat ke rumah orangtuanya.

“Romo,” kata Merdeka sambil mencium tangan bapaknya yang sudah tua bangka, tapi belum juga mati. “Aku datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus terang aku sudah gagal. Tetapi, bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk minta bantuan. Aku datang ingin mengganti nama yang sudah Romo berikan.”

Lelaki tua itu mengernyitkan alisnya.

“Mengganti nama? Apa maksudmu, Merdeka?”

“Dukun bilang, nasibku jadi sial karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi, apa salahnya kalau namaku diganti? Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. aku serahkan kepada Romo untuk memberiku petunjuk.”

Mata orang tua itu sekarang terbuka.

“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa?”

“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.

Merdeka tertegun. Waktu kecil, ia tidak peduli kalau dibentak. Tetapi, sekarang, ia sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.

“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.

Tetapi, lelaki tua itu membentak lebih dahsyat lagi.

“Tidak!”

“Kenapa tidak?”

“Pokoknya tidak!”

“Ya!”

“Tidak!”

“Yaaaaaa!”

“Tidakkkkkk!”

“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Romo, kan, tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan, pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”

“Goblok!” teriak bapak Merdeka sambil menampar anaknya.

Merdeka terkesima. Ia melotot memandangi bapaknya. Ia belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.

Sebaliknya, bapak Merdeka juga tidak takut. Ia mendekat dan mengembuskan napas kesalnya. Lalu mencekik leher Merdeka.

“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan napas menggebu-gebu. ‘Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira Merdeka itu bebas dari segala kesialan? Apa kamu kira Merdeka itu berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia? Kamu memang goblok! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, dan nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang mahabesar. Tapi, kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya. Kalau kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka. Mengerti? Mengerti?”

Merdeka bingung.

“Mengerti?”

“Tidak!”

“Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu ini Merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Tidak ada orang yang tidak merdeka bisa bilang tidak. Jadi, tetaplah Merdeka! Sekali Merdeka tetap Merdeka, Anakku. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti Merdeka, Anakku. Jangan bablas. Tetaplah Merdeka!”

Hhhhhhhhhh. Orang tua itu menangis tersedu-sedu. Merdeka kebingungan. Ketika ia mencoba memegangnya, orang tua itu menarik napas panjangn, lalu jatuh dan mati.

Merdeka panik.

“Ya, Tuhan! Jangan pergi, Romo! Jangan tinggalkan aku. Aku bersumpah aku akan jadi Merdeka. Aku akan terus merdeka sampai titik darahku yang penghabisan!”

Tiba-tiba tubuh lapuk yang tak berdaya itu bangkit lagi. Matanya terbuka, nanar memandang anaknya.

Yes!” bisiknya lirih, tetapi sangat puas, lalu kembali jatuh meneruskan mati.




Sumber  : Klop (Buku Kumpulan Cerpen)
Penulis   : Putu Wijaya
Penerbit : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)

Cetakan Pertama, Mei 2010

Fenomena Youtube, Kreativitas Berbuah Ketenaran


Fenomena mengupload video ke jejaring sosial youtube sekarang sedang marak terjadi, entah karena iseng atau hanya mencari sensasi belaka. Namun, terlepas dari itu semua masyarakat telah melakukan kreativitas yang berbuah ketenaran dalam membuat dan mengupload video.
Sebut saja dari Sinta dan Jojo dengan Keong Racunnya, Sualudin dengan Udin Sedunia, dan yang paling fenomena adalah Briptu Norman Khamaru yang menirukan Syharuk Khan saat menyanyikan lagu Chaiya-Chaiya.
Youtube  adalah merupakan sebuah aplikasi teknologi yang saat ini cukup efektif sebagai salah satu alat komunikasi publik di masyarakat. Kemajuan dalam hal komunikasi publik yang bisa dianggap sangat revolusioner ini, cukup membantu masyarakat dalam hal menyampaikan banyak hal secara langsung yang dapat dilihat oleh para pengguna yang lainnya
Kita ketahui, ini merupakan juga sebagai sebuah sarana komunikasi untuk berbagi antara sesama pengguna atau masyarakat. Misalnya, maka kemudian ditemukan ada yang jadi artis dadakan di youtube atau yang lainnya adalah hal yang wajar, karena saat ini masyarakat sudah menjadikan alat atau wadah komunikasi ini menjadi sebuah kebutuhan.
Menurut Pemimpin Redaksi (Pemred) Waroengkopibelasi,com, Budi Santoso, Selain tempat promosi, jejaring sosial telah dijadikan sebuah resapan aspirasi informasi dari kalangan masyarakat  yang kemudian dalam hal ini pemerintah atau penguasa negeri ini dapat melihat langsung fenoma terkini dari kehidupan masyarakatnya.
Budi menambahkan, bukan saja Pemerintah dinas instansi terkait serta swasta pun menjadikan jejaring sosial menjadikan sarana untuk mensosialisasikan berbagai program-program atau kebijakan-kebijakan yang ada. Dan media  pertelevisian serta media surat kabarpun dapat mengakses  fenomena yang dalam hal ini masyarakat informasikan secara langsung.
Jadi hal yang wajar Kemudian seorang Briptu Norman mendapat perhatian khusus dari masyarakat seputar “Aksinya”. Kemudahan berkomunikasi seakan tanpa “batas” ini menjadi trend saat ini dan dimasa yang akan datang. Tambahnya.
Menurut Mahasiswa Mercu Buana, Richat Parsaoran, fenomene youtube harus direspon secara positif. Artinya, jejaring social youtube jangan disalah gunakan, karena youtube dapat digunakan sebagai alat promosi dan berekpresi secara positif. Ujarnya.
Budi menghimbau untuk para pengguna jejaring sosial khususnya youtube, Filter agama perlu untuk penanaman akidah sangat penting untuk dapat memproteksi secara kuat dari diri anak-anak muda saat ini dalam menggunakan atau mengakses jejaring social.
Kemudian kontrol orang tua juga sangat penting dalam memberikan arahan terhadap putra-putri dalam menggunakan media jejaring sosial ini. Dan yang sangat terpenting adalah peran pemerintah dalam hal ini Menkoinfo untuk terus secara continue melakukan proteksi-proteksi terhadap situs-situs yang dapat merusak moralitas anak bangsa. Tegasnya.
Serta untuk anak mudanya sendiri buat lah langkah-langkah kreatifitas dalam kelompok-kelompok kerja kecil secara simultan untuk dapat menuangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang membangun, misal, membuat ivent, kajian-kajian ilmiah yang modern sesuai dengan perkembangan serta nafas anak mudanya,yang jelas selalu membuat terobosan-terobosan yang spektakuler sehingga jauh dari hal-hal yang negatif.
So, mari kita manfaatkan jejaring sosial dengan sebaik mungkin, karena siapa tahu kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa.


 - Aditya Sasori -