Disebuah Panti Asuhan Kasih Ibu tinggal anak-anak
yang kurang beruntung nasibnya, entah ditelantarkan orang tuanya di tong
sampah, dijual, dititipkan tapi tak juga diambil, dan banyak lagi cerita miris
dari mereka.
Bunga namanya, anak perempuan manis ini berumur 14
tahun, ia ditemukan di depan panti ketika itu ia berumur 2 tahun. Ia cantik,
cerdas, dan bertingkah laku lembut bak perempuan di Kraton Jogjakarta.
Kemudian Bintang, ia juga penghuni panti seperti Bunga.
Saat ini ia berumur 15 tahun dan bintang sudah berada di panti sejak 12 tahun
silam. Ya, bisa dibilang dua anak ini adalah bibit unggul, mereka cerdas dan
menarik dan keduanya sangat akrab serta memiliki kedekatan batin yang sangat
erat.
oooOooo
Pada suatu ketika ada dua orang asing asal Belanda,
pasangan tersebut sudah menikah 10 tahun lamanya tapi Tuhan belum mengizinkan
mereka memiliki momongan, kemudian mereka putuskan untuk mengadopsi anak dan
Panti Asuhan Kasih Ibulah yang mereka pilih.
Setelah melihat seluruh anak yang ada di panti,
pasangan itu memutuskan akan mengadopsi Bunga dan berencana membawanya tinggal
di Belanda. Mendengar hal tersebut Bintang merasa sedih dan bertanya kepada
pengurus panti.
“Bu, apa benar
Bunga akan diadopsi orang asing itu?”. Tanya Bintang
“Iya Bintang, mereka memilih Bunga untuk diadopsi”.
Jawab pengusrus panti dengan lembut
“Kapan Bunga
akan pergi, Bu?”. Bintang setengah menangis
“Beberapa hari
lagi, berkas sedang diurus”. Kata pengurus panti dan langsung meninggalkan
Bintang dalam ketidakpercayaan
oooOooo
Hari itupun tiba, hari di mana Bunga akan
meninggalkan tempat yang sejak kecil ia tinggali, kenangan-kenangan manis, tawa
dan canda teman-temannya, juaga Bintang yang sudah menjadi belahan jiwanya.
“Baik, terima
kasih Bu, karena sudah membantu saya untuk mengadopsi Bunga”. Kata pasangan
itu kepada pengurus panti dengan logat Indonesia yang tersendat-sendat
“Sama-sama
Tuan”. Jawab pengurus panti dengan sedikit merunduk
Mereka bertiga berjalan menuju mobil yang terparkir
di luar panti. Hanya beberapa langkah sebelum sampai di mobil, bintang muncul
dari dalam panti dan berteriak.
“Buungaaaaaa”.
Sambil berlari menghampiri
“Bintang!”.
Jawab Bunga
“Jaga diri
kamu baik-baik ya!”. Kata Bintang
“Aku enggak
mau pergi Bintang”. Bunga hampir menangis
“Kamu jangan
bicara seperti itu, bukankah penghuni panti berharap seperti kamu? Merasakan
kasih sayang orang tua walau bukan orang tua kandung, tapi setidaknya itu akan
membuat statusmu jelas, dirawat, merasakan pelajaran di sekolah, dan banyak hal
menyenagkan yang akan kamu rasakan”. Jelas Bintang
“Iya Bintang,
kamu benar! Aku akan kembali suatu saat nanti untuk menemui teman-teman di
sini, khususnya kamu.” Kata Bunga sambil membasuh air matanya
“Ya,
berangkatlah! Aku akan menunggumu di sini, di tempat ini, walau kelak rambutku
mulai memutih karena termakan usia”. Kemudian sambil memegang pundak Bunga, Bintang berkata “Meskipun
aku tak bersamamu saat kau mekar, tapi aku akan bersamamu saat kau layu!”
Terlihat air mata membanjiri wajah cantik Bunga dan
tanpa bekata Bunga berjalan ke mobil Jaguar berwarna merah bernomor polisi AD 1 T dan mobil itupun berjalan
kemudian terbias hilang di tikungan.
Pada hari ulang tahun proklamasi
kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas
pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.
“Selamat datang ke atas dunia.
Selamat datang di Indonesia, Anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah
harapanku, masa depanku, dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah
kusuma bangsa. Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa
lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu
ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan
akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”
Merdeka kecil sudah bisa mendengar,
tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya
tersenyum dan berbisik.
“Syukur kamu sudah mendengar apa
yang aku katakan, Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa
yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”
Dua puluh tahun kemudian, Merdeka
tumbuh dan dewasa. Ia menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakep.
Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia
sangat energetik dan suka membantah.
Teman-teman merdeka semua suka dan
segan pada Merdeka. Tetapi, guru-gurunya sebaliknya. Merdeka kesal.
“Merdeka adalah seorang anak yang
hebat. Dia genius. Dia bisa menjadi pimpinan di masa depan untuk negeri ini.
jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman milenium ini. Tapi,
sayang, dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.
“Andaikan saja dia lebih rendah hati
sedikit, dia tak ayal lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya
yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara
terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah
contohnya. Tetapi, sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu,
mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa
sudah bersikap, sebagaimana yang dilakukan oleh Merdeka, kita akan konyol. Kita
tidak akan mungkin bisa maju. Lihat saja, di dalam ilmu pasti, pada dalil satu
dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah, nanti
sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai
ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi, tidak mungkin
memberontak sebelum menguasai. Jadi, Merdeka sudah salah kaprah!”
Merdeka tidak peduli apa yang
dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk
mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalau ia tak
setuju, tanpa pertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia
langsung dobrak.
Sebagai akibatnya, Merdeka dikenal
sebagai anak yang berani. Ia ditakuti, tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper
semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, Merdeka
dipecat dari sekolah.
Ketika teman-temannya menamatkan
pelajaran dan pada mengantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan.
Tetapi, ia tidak kecil hati. Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak
memerlukan ijazah, katanya. Dengan bekal kepintaran itu, ia terjun ke
masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.
Di masyarakat, kenyataan berbeda
dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa
ilmu pengetahuan adalah utama, pada praktiknya, yang menentukan orang dapat
bekerja adalah ijazah. Kemana pun Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk
memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka
tahu Merdeka tak punya ijazah, pintu langsung ditutup.
“Boleh ngomong besar, tapi mana
bukti? Mana dokumen rekomendasi?”
Teman-teman merdeka yang goblok,
semuanya mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli
ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat
kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia
mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes. Tetapi, kepada siapa? Ternyata
semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya
tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan,
surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika ia
menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnya dengan duit.
“Kalian semua hanya ngomong-ngomong
melulu, praktiknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki,
nyatanya kalian kaji sendiri!” teriak Merdeka.
Merdeka mulai marah dan benci pada
kehidupan karena hidup berpihak pada ketidakadilan. Ia menjadi sinis dan
apatis. Dunia yang dibayangkan sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi
sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua
kentut.
Tetapi, untunglah tidak semua yang
hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada
orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal,
Merdeka bertemu dengan seseorang yang berpihak pada kebenaran.
“Memang, ijazah itu perlu, karena
itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik.
Tetapi, diploma sekarang gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi
oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan di sekolah, sedangkan kita menggarap
hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan di
sekolah mana pun. Jadi, Saudara Merdeka jangan merasa kesepian. Aku tidak buta.
Aku melihat potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng
ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, melaikan SDM hebat seperti kamu!”
Merdeka lantas dirangkulnya.
Diberikan tanggung jawab untuk memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan
nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan, dan harapan.
Merdeka kontan sembuh. Ia terima jabat tangan itu dan siap hendak berpacu.
Tetapi, apa lacur, pada hari
pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa
segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.
“Merdeka,” katanya dengan suara yang
bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan untuk medapatkan
uang. Betul, tidak?”
Merdeka mengangguk. Betul.
“Nah, berarti kamu juga bekerja
untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat
apa lagi pekerjaan. Ya, kan? Jadi, lihat, aku bawakan kamu uang banyak sekali.
Terimalah uang ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali
kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit.
Banyak sekali. Tetapi, ia tidak punya kehormatan kerana tidak ada jabatan. Ia
membeli jabatan kamu. Jadi, terimalah! Kamu untung dan aku juga untung!”
Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan
itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum
Merdeka bisa mencegah, ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu
dicampakkannya sambil mengumpat.
“Sialan! Aku memang perlu uang. Aku
tahu untuk hidup orang membutuhkan uang. Tapi, aku tidak hidup untuk mencari
uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku
untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat
kebajikan pada negeri dan rakyatku!”
Suara Merdeka lantang dan jelas.
Tapi, orang idealis itu sudah ngibrit entah kemana. Tinggal Merdeka yang
sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena
tak mampu lagi menahan dirinya. Orang-orang bilang bahwa anak muda itu sudah
mulai terganggu.
“Kamu kelihatannya frustasi,
Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edan ini, siapa yang tidak frustasi?
Kalau kamu ikutkan perasaanmu, kamu akan gila. Tetapi, semua orang memang sudah
gila. Kamu tidak akan menjadi istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu
lawan semua itu!”
“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku
tidak kelihatan. Kalau ada, aku hajar sekarang juga!”
“Lawan dengan cara menerimanya!
Pasrah!”
“Tidak! Aku tidak mau jadi orang
Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek
feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau
berontak!”
“Tidak mungkin! Orang gila tidak
mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau
mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi, pikiran kamu harus
tenang. Dan untuk tenang, jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil,
kamu harus punya seorang pendamping. Walhasil, Merdeka, satu-satunya jalan yang
bisa kamu pilih sekarang adalah kawin. Kawinlah, Merdeka, sebelum terlambat!”
Merdeka terkejut.
“Apa? Kawin?”
“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar
bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. setiap manusia wajib punya teman hidup,
baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu
tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu
akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jati dirimu akan keropos.
Dan kamu akan game over. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang
teman hidup. Berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak, kamu
akan terlambat. Coba, umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk
berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau
kadaluwarsa?”
Merdeka terkejut. Buru-buru ia
berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di
kepalanya. Garis-garis tua mulai turun di wajahnya. Ia tidak semuda yang ia
kira lagi. Merdeka terpaksa menerima, apa yang dikatakan oleh sahabat itu.
Lalu, tanpa berpikir panjang lagi,
Merdeka melamar pacarnya untuk menikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu
dengan senang. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya
Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan
kebebasannya, untuk memasuki status suami-istri.
Tetapi, celaka tiga belas. Meskipun
dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang
semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali
tak masuk akal.
“Kamu mau menikah dengan putri
tunggalku, Merdeka?” tanyanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai? Apa
kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Dalam waktu tiga bulan
kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan menghisap kamu. Kamu
memerlukan duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak.
Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji
yang baik. Hendak kamu bawa kemana putri tunggalku ini? Buktikan dulu bahwa aku
pantas menyerahkan anakku kepadamu. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu.
Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia
jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau, jangan-jangan kamu
tertarik bukan kepada putriku, melainkan pada warisannya? Pada kekayaan dan
jabatanku? Kalau begitu, maaf, Anak Muda, sekarang juga minggat, tinggalkan
rumah ini dan jangan berani kembali karena aku akan tembak kepalamu!”
Merdeka pingsan. Belum pernah ia
menerima kenyataan yang begitu parah.
“Aku manusia sial. Aku ditakdirkan
menjadi orang gagal!” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai
terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa yang harus
dilakukan.
Akhirnya dalam keadaan panik dan
terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya, dukun. Kenapa tidak?
Meskipun ini zaman milenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat
juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada
yang punya dukun. Bahkan, seniman juga ada yang malahan jadi dukun itu sendiri.
Dukun memegang tangan Merdeka dan
membaca nasibnya.
Sebenarnya, menurut skenario, kamu
ini orang genius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya
kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan.
Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih. Tetapi, sayang,
pada praktiknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”
“Sajen? Sajen apa?”
“Kamu tahu? Segala sesuatu itu
memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan
kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan
keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu
harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang diperlukan.
Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas,
Merdeka!”
Merdeka terkejut.
“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah
zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa
revolusi seperti bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang
canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti
kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam-macam, Duk!”
“Tenang, Merdeka, pengorbanan ini
bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban,
tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan
dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu. Jangan lagi
Merdeka. Itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian. Tidak
mungkin. Kalau kamu memikulnya kamu akan terlalu sibuk memikul dan tidak akan
bisa berbuat apa-apa. Jadi, lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka
itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apalah artinya nama, Ya, tidak?”
Merdeka tidak setuju.
“Mengganti nama? Tidak. Tidak
mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat.
Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya
uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya
cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. aku tidak bisa
mengganti apa yang diwariskan oleh orangtuaku begitu saja. Karena itu adalah
amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”
Dukun menggeleng.
“Memang susah bicara dengan orang
pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka
supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.
Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan.
Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh,
ia kalah. Lalu, sambil mengenakan baju batik, ia berangkat ke rumah
orangtuanya.
“Romo,” kata Merdeka sambil mencium
tangan bapaknya yang sudah tua bangka, tapi belum juga mati. “Aku datang untuk
melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus terang aku sudah gagal.
Tetapi, bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk
minta bantuan. Aku datang ingin mengganti nama yang sudah Romo berikan.”
Lelaki tua itu mengernyitkan
alisnya.
“Mengganti nama? Apa maksudmu,
Merdeka?”
“Dukun bilang, nasibku jadi sial
karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam
sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi, apa salahnya kalau
namaku diganti? Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. aku serahkan kepada
Romo untuk memberiku petunjuk.”
Mata orang tua itu sekarang terbuka.
“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka,
Merdeka?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.
Merdeka tertegun. Waktu kecil, ia
tidak peduli kalau dibentak. Tetapi, sekarang, ia sudah dewasa, sudah jauh
lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau
lagi dibentak.
“Karena aku tidak mau terus-menerus
sial!” teriak Merdeka.
Tetapi, lelaki tua itu membentak
lebih dahsyat lagi.
“Tidak!”
“Kenapa tidak?”
“Pokoknya tidak!”
“Ya!”
“Tidak!”
“Yaaaaaa!”
“Tidakkkkkk!”
“Brengsek!” teriak Merdeka
kelepasan. “Romo, kan, tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang
berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang
terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan
luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan, pacarku direbut orang lain
gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku
tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku
mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku
tidak mau lagi jadi Merdeka!”
Merdeka terkesima. Ia melotot
memandangi bapaknya. Ia belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan
bangsa disebut goblok dan ditampar.
Sebaliknya, bapak Merdeka juga tidak
takut. Ia mendekat dan mengembuskan napas kesalnya. Lalu mencekik leher
Merdeka.
“Merdeka!” bisik orang tua itu
dengan napas menggebu-gebu. ‘Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa
kamu kira Merdeka itu bebas dari segala kesialan? Apa kamu kira Merdeka itu
berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia? Kamu memang goblok! Merdeka
itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah
penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya.
Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang
akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi
keperihan, kesengsaraan, dan nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit
yang mahabesar. Tapi, kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk
memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya. Kalau kamu masih
dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan
kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi
robot, belum mati seperti yang lain. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka.
Mengerti? Mengerti?”
Merdeka bingung.
“Mengerti?”
“Tidak!”
“Nah!” teriak orang tua itu lebih
dahsyat lagi. “Kamu ini Merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Tidak ada
orang yang tidak merdeka bisa bilang tidak. Jadi, tetaplah Merdeka! Sekali
Merdeka tetap Merdeka, Anakku. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti Merdeka,
Anakku. Jangan bablas. Tetaplah Merdeka!”
Hhhhhhhhhh. Orang tua itu menangis
tersedu-sedu. Merdeka kebingungan. Ketika ia mencoba memegangnya, orang tua itu
menarik napas panjangn, lalu jatuh dan mati.
Merdeka panik.
“Ya, Tuhan! Jangan pergi, Romo!
Jangan tinggalkan aku. Aku bersumpah aku akan jadi Merdeka. Aku akan terus
merdeka sampai titik darahku yang penghabisan!”
Tiba-tiba tubuh lapuk yang tak
berdaya itu bangkit lagi. Matanya terbuka, nanar memandang anaknya.
“Yes!” bisiknya lirih, tetapi
sangat puas, lalu kembali jatuh meneruskan mati.
Fenomena
mengupload video ke jejaring sosial youtube sekarang sedang marak terjadi, entah karena iseng atau hanya mencari
sensasi belaka. Namun, terlepas dari itu semua masyarakat telah melakukan
kreativitas yang berbuah ketenaran dalam membuat dan mengupload video.
Sebut
saja dari Sinta dan Jojo dengan Keong Racunnya, Sualudin dengan Udin Sedunia,
dan yang paling fenomena adalah Briptu Norman Khamaru yang menirukan Syharuk
Khan saat menyanyikan lagu Chaiya-Chaiya.
Youtubeadalah merupakan sebuah aplikasi teknologi
yang saat ini cukup efektif sebagai salah satu alat komunikasi publik di
masyarakat. Kemajuan dalam hal komunikasi publik yang bisa dianggap sangat
revolusioner ini, cukup membantu masyarakat dalam hal menyampaikan banyak hal
secara langsung yang dapat dilihat oleh para pengguna yang lainnya
Kita
ketahui, ini merupakan juga sebagai sebuah sarana komunikasi untuk berbagi
antara sesama pengguna atau masyarakat. Misalnya, maka kemudian ditemukan ada
yang jadi artis dadakan di youtube
atau yang lainnya adalah hal yang wajar, karena saat ini masyarakat sudah menjadikan
alat atau wadah komunikasi ini menjadi sebuah kebutuhan.
Menurut
Pemimpin Redaksi (Pemred) Waroengkopibelasi,com, Budi Santoso, Selain tempat promosi,
jejaring sosial telah dijadikan sebuah resapan aspirasi informasi dari kalangan
masyarakatyang kemudian dalam hal ini pemerintah
atau penguasa negeri ini dapat melihat langsung fenoma terkini dari kehidupan
masyarakatnya.
Budi
menambahkan, bukan saja Pemerintah dinas instansi terkait serta swasta pun
menjadikan jejaring sosial menjadikan sarana untuk mensosialisasikan berbagai
program-program atau kebijakan-kebijakan yang ada. Dan mediapertelevisian serta media surat kabarpun
dapat mengaksesfenomena yang dalam hal
ini masyarakat informasikan secara langsung.
Jadi
hal yang wajar Kemudian seorang Briptu Norman mendapat perhatian khusus dari
masyarakat seputar “Aksinya”. Kemudahan berkomunikasi seakan tanpa “batas” ini
menjadi trend saat ini dan dimasa yang akan datang. Tambahnya.
Menurut
Mahasiswa Mercu Buana, Richat Parsaoran, fenomene youtube harus direspon secara
positif. Artinya, jejaring social youtube jangan disalah gunakan, karena
youtube dapat digunakan sebagai alat promosi dan berekpresi secara positif.
Ujarnya.
Budi
menghimbau untuk para pengguna jejaring sosial khususnya youtube, Filter agama perlu untuk penanaman akidah sangat penting
untuk dapat memproteksi secara kuat dari diri anak-anak muda saat ini dalam
menggunakan atau mengakses jejaring social.
Kemudian
kontrol orang tua juga sangat penting dalam memberikan arahan terhadap
putra-putri dalam menggunakan media jejaring sosial ini. Dan yang sangat terpenting
adalah peran pemerintah dalam hal ini Menkoinfo untuk terus secara continue melakukan proteksi-proteksi
terhadap situs-situs yang dapat merusak moralitas anak bangsa. Tegasnya.
Serta
untuk anak mudanya sendiri buat lah langkah-langkah kreatifitas dalam
kelompok-kelompok kerja kecil secara simultan untuk dapat menuangkan ide-ide
kreatif dan inovatif yang membangun, misal, membuat ivent, kajian-kajian ilmiah yang modern sesuai dengan perkembangan
serta nafas anak mudanya,yang jelas selalu membuat terobosan-terobosan yang
spektakuler sehingga jauh dari hal-hal yang negatif.
So, mari kita manfaatkan
jejaring sosial dengan sebaik mungkin, karena siapa tahu kita bisa menciptakan
sesuatu yang luar biasa.